Kamis, 06 Agustus 2009

Potret pagi itu



Tertulis sebuah rindu di sudut pagi.
Bait demi bait mulai terselip dan melayang..
Di bait pertama, digaris harapan semu,
Bersandar pada angan kian lapuk..
Pagi itu…
Terekam dan tertata ulang. Begitu usang dan kusam..
Sekelebat bemembawa aromanya, lalu busuk.
Bunga setaman gugur ditengah meriah,
Mendung menawarkan muramnya,
Berbondong-bondong angin liar menatapnya,
Menerka, disela rantinng patah,
Menembus dalam lubuk pasrah,
Yang sejatinya takkan goyah..
Tak juga kau….
Kau yang telah menabur duka..
Dari separuh dan sekedar janjimu payah,
Bagai lahar panas dan luapan muntah.
Ya.. sekedar katamu…
Kulihat kau mengenakan topeng arjuna.
Berpesta pora diantara rayuan sinta.
Berdendang pada lagu dan nostalgia lama.
Hingga kutak sadar tertanam murka di sana.
Sementara kau dan aku terhanyut.
Sementara itu pula sang surya tersenyum.
Di ujung pagi semu, di sebelah ufuk timur.
Di antara senyumanya yang kini hilang.
Namun entahlah…
apa sebenarnya di balik senyumu itu..


Wong soslo, 17 des 2008.

Potret pagi itu

Tertulis sebuah rindu di sudut pagi.
Bait demi bait mulai terselip dan melayang..
Di bait pertama, digaris harapan semu,
Bersandar pada angan kian lapuk..
Pagi itu…
Terekam dan tertata ulang. Begitu usang dan kusam..
Sekelebat bemembawa aromanya, lalu busuk.
Bunga setaman gugur ditengah meriah,
Mendung menawarkan muramnya,
Berbondong-bondong angin liar menatapnya,
Menerka, disela rantinng patah,
Menembus dalam lubuk pasrah,
Yang sejatinya takkan goyah..
Tak juga kau….
Kau yang telah menabur duka..
Dari separuh dan sekedar janjimu payah,
Bagai lahar panas dan luapan muntah.
Ya.. sekedar katamu…
Kulihat kau mengenakan topeng arjuna.
Berpesta pora diantara rayuan sinta.
Berdendang pada lagu dan nostalgia lama.
Hingga kutak sadar tertanam murka di sana.
Sementara kau dan aku terhanyut.
Sementara itu pula sang surya tersenyum.
Di ujung pagi semu, di sebelah ufuk timur.
Di antara senyumanya yang kini hilang.
Namun entahlah…
apa sebenarnya di balik senyumu itu..


Wong soslo, 17 des 2008.

KERETA SENJA

Menjerit dibawah ratapan sunyi.
Diantara jerit-jerit lain, nampak kau saksikan wajah-wajah asing,
Yang tak pernah kulihat diujung sana.
Sosok tua, duduk termangu dilajur kiri sebelah kereta.
Seolah tak peduli bisingnya waktu, hingga saat terbelalak, sekembalinya sang cucu dari peluk.
Ya,, semua telah kau renggut bersama waktu yang sombong dan angkuh.
Tatapan kosongnya yang tak pasti, menerka jauh.
Sejauh masa lalunya yang kian rapuh.
Dimana tak mungkin kembali sejenak, bahkan untuk sekedar merayu.
Hari-hari membunuh dan menindas, terpuruk berserakan.
Mimpi yang sempat terukir, belum tersentuh.
Tawa bahak tak tersisisih, sekalipun adalah kepalsuan.
Seketika telah luluh lantak bersama deru liar, seliar waktu murka.
Kembali waktu memutar laju tak bertepi. Kereta senja atas saksi berita hari ini.
Kini telah lagi, sang waktu telah menggerutu dan merenggutnya.
Ketika mimipi belum sempat tertimang.
Ketika semua telah berlalu dan berakhir.

Di lajur kiri sebelah kereta.
Sosok mayat tua, dan kerumunan wajah-wajah asing, sang cucu menangis lunglai…

Kembali sang waktu melaju, bersama kereta senja itu…
Dan tak peduli …
Wong soslo, 17 desember 2008.