Selasa, 24 November 2009

Sepi ini dan karenamu..

Sepi menyamar rindu.
Sunyi yang memecah sebuah noda.
Aku terpaku mengenang.
Dari keping sudutmu yang menepis mata hati.

Kini sendiri menuju savanna dan menerpa gejolak.
Menjawab segala lara dan iba… dan untuk kesekian kali.
Itu sepi..!! bukan..!! itu adalah sunyi..
Karena sunyi adalah bagianku yang sejak..
Setidaknya malam ini sudah cukup untuk dia berteriak.
Dia telah bersetubuh dengan waktu dan sekedar mengungkap sunyi.

Ya.. kedengaranya memang riuh,
Tapi bukan riuhmu..
Munngkinkah kau sedang menciptakan gendang bertalu?
Karena aku tau itu akan berakhir pada pertunjukan nanti.

Oh.. bukan!!!
Itu benar suaramu!! Aku mendengar ketika malam merayu.
Bukankah itu kau katakan saat sering kau jemput mimpi?
Ah..betapa bodohnya aku !! aku bahkan tak tau siapa pemilik suara indah itu..
Apakah aku adalah salah satu tokoh pewayangan dalam sandiwaramu..?
Maka aku akan sedang menjemput sepi ketika riuh tangan mereka bertemu.
Dan aku baru sadar, aku adalah tokoh arjuna pada saat itu.
Sang arjuna bukan pada saat setelah pertunjukan dan sandiwara berakir.

Karena aku hanya akan menjadi lorong waktu dan kekosonganmu…
Penawar sepi dan penghuni negeri seribu malam..
Tak ada bintang, bahkan bulan untuk sekedar berkedip..

syair terlarang...

Rona hijau telah mengembang..
Seolah memanja para pelangi yang merindu..
Mungkin itu adalah negri mimpi yang dulu pernah…
Ketika itu suaramu memecah para penghuni hati..
Hingga mereka merunduk untuk sebuah maknamu..
Maka hamparan langitpun seiring memuja..
Engkau begitu hadir…
Menawar pesona yang dulu mengisi..

Dan tentang negeri mimpi itu, menggerlap dan menyelimuti keranda sepi kini..
Seiring pernah kau tanyakan padaku ”mengapa tempat itu begitu indah..?”
Dan seiring itu pula aku tak mampu menjawabnya..
Bahkan aku tak berani menghayalnya, walau kendati..
Aku ingin mengahdirkanya untukmu, namun aku takut itu tak terjadi..
.........ataupun tak pantas..
Dan mungkin telah terlarang…

kisah terlarang-agust '09

..bukan senyum untukku...

Malam itu, dan sebuah bayang.
Menawar rindu yang pernah hanyut.
Kudengar lirihnya diujung hening.
Mengalun sepi, merayu nada sumbang.
Sampai kuingat tentang tawamu, dan sepenggal bisikmu.
Nada indah itu mengalir dan mengisi.
Walau aku tau itu nada yang sama nan serupa.
Aku coba untuk mengerti,,, kadang memahami…
Sekalipun harus mengemis pada dinginya malam.
Karena saat mata ini terjaga, ketika harus kubawa sia..

Dan itu bukan sekedar membunuh sepi..
Atau untuk menawan kekosongan..

Karena diujung hari, dan disela senyumu,
………………………….kau titipkan senyum yang bukan untukku…



...bungaku hilang...

=====kisah terlarang-Agust ‘09

Kehidupan jalanan

Pernah kita mengukir sebuah jalan..dimana sebuah dosa yang kadang selalu mengikuti deru angin.. tak pernah tau bahwa waktu memang kadang menipu..dan taukah kau? Sementara kita masih terjerumus dalam terpaan malam..kita tak pernah tau bahwa jarum jam memang sudah tak pernah pada tempatnya..seiring berlalu dalam langkahnya..begitu sombong.. seperti malam itu kau pernah mengatakanya padaku ”..dimanakah saat ini kita berada..?? sampai kapan kita akan menjilat nasib..?? ..siapa dibalik ini..itu..”

Sang waktu kembali menoreh catatan tentang kita, dijalan yang dulu pernah menari..aku tau kawan, suaramu begitu parau untuk sekedar mengenal arti sebuah mimpi..nyaris aku tak percaya..namun harapanmu telah menampar kesadaranku untuk sekedar melangkah..menjadi cahaya diantara ranummu..aku tau kita akan berjabat ditengah persimpangan..bercerita tentang negri dongeng yang kita dambakan.. hinggga kembali menyusuri lorong sunyi dan berkabut..ketajaman matamu telah meyakinkanku bahwa kehidupan jalanan memang pernah memberi kita arti..sekalipun sering kita mengutuk teriknya hari..sekalipun kita pernah mencaci..namun setiap tetes keringat adalah sebuah saksi..sebuah saksi pengantar tidur anak kita kelak..agar mereka tau bahwa sebuah dongengpun adalah pengorbanan..karena kita tau dan tidak sedang ingin menjerat mimpinya..

Kepada jalanan... kepada apa yang kita impi..dan kepada apa yang dulu telah terbagi.. kita tidak perlu menghianati waktu..setidaknya karena kita bukan cucunguk yang harus selalu bersembunyi dalam pekatnya malam..kita bukan apa-apa kawan.. kita bukan pengelana yang dihujani dipadang gersang..dan kita bukan pula seekor kellinci santapan pemurka..karena kita lebih dari itu...

Coretan untuk seorang kawan…

Kawan..!! lagi-lagi kau yang selalu mengisi riuhnya hari..!! membuka tabir yang dulu pernah.. kadang kita sedikit menaifkan hari, dan berpikir nyeleneh; bahwa memang selalu saja seperti itu..! tidak jauh dari apa tentang kata mereka.. tentang apa yang telah terjadi.. tentang cerita waktu yang semakin samar dan berkabut..ah lagi lagi itu..sampai kapan kita akan menyelami nurani kita, sementara jalan masih jauh yang harus kita tempuh..bukankah itu katamu dulu..?? dulu saat kita berusaha menikmati sejuknya hari..saat kita bercerita kekonyolan kita.. ah..!! betapa terlihat gagahnya waktu itu, sambil kau menghitung tentang sudut ragamu saat kelak nanti.. kau tulis semua itu dalam khayalmu.. oh..bahkan bintangpun ikut tersenyum seraya berkata ; ingin rasanya kuukir kebahagiaan ini untuk orang-orang yang kelak aku sayangi..sadarkah kau, waktu itu aku teteskan air mata ini untukmu..nyaris kita tak percaya bahwa memang roda kehidupan tidak sedang berputar..dan betapa kita mempercayai itu..

Selang kau menertawai tentang penyesalanmu hari ini,,dan betapapun kita telah ditelanjangi oleh sombongnya waktu..

******
Kawan.. masih ingatkah kau cerita tentang tulang belulang..? tentang serpihan hati saat meninggalkan nurani..?? putih warna tulang itu memang, tapi aku tau tak seputih apa yang kau pikir..tak semerah yang kau ingin..karena memang sepertinya mentari masih setia menemanimu..
Iya kawan.. kita tunggu saja kabar sore ini..sambil kita beranjak dari pagi ini.. dan berharap kereta hari ini berangkat tepat waktu..

Aku berjalan diatas ketabuanmu..

itu kau katakan dulu.. dan selebihnya saat ini, karena aku tak bisa walau meski.,,
saat mendung menggelepar sambil menyejukan kaki cakrawala, masih kau terpenjara..

akupun tenggelam..menyusur telagamu..
sambil kunikmati yang tersisa..
walau tak pernah terucap..
tak pernah terpikir..

aku berjalan dengan seadanya..
sambil melewati garis dengung suaramu..
seiring,,aku mulai terjaga diantara gelap,,
bahwa yang kau ingin adalah bukan..
dan dengan senyum yang masih tersisa..
kau jawab dengan bening matamu..
seribu Tanya menjadi dilemma..
hingga kau tabur rasa yang tertunda..
walau aku tau itu bukan sepertinya..
namun kupaksa walau rina semakin menghujan..
saat sekejab mulai sirna..
hingga aku mencoba bertahan dalam kepalsuan..
karena aku tak kuasa untuk sekedar melupa..dan mengubur harapan ini..

Pecundang malam…

Pecah..kau katakan dalam gejolak yang membisu…
denting awan tiba berderu…
aku malu..
pada duri-duri dijalan yang kini kering....
ah bilakah kau tau..walau kau tak pernah tau.. pernah kau diamkan rasa ini…
pernah kau putar waktu untuk sebuah kenaifan..

ha…ha…ha…pernah kau tertawa untuku…
pernah kita rasakan hangatnya waktu..

Sampai saat kau tikam..
akupun terpaku..
aku menjerit..
kadang membenci..
sedikit tertawa..
mungkin kosong..
kau tau pedangmu kali ini begitu tajam,setidaknya saat mencumbu liang sanubari…
namun ku coba memahami, dan karena awan masih bertanya-tanya..

cukup lama hari menunggu senyumu..
walau sepi menanti sebuah cerita..
tapi kulihat dia memang begitu jalang..
membelah malam yang begitu pekat..
kulirik senyumu semakin menghilang…
kutepis..
namun malam sudah terlanjur..dan enggan membagi cerita dan senyumu..
dan NYARIS AKU BERKATA ENTAH..

Bunga yang tertinggal

Bunga awan bertajuk rindu.
Aku persembahkan untuk yang terakir.
Lelah aku mengarungi savanamu, sudah aku tak sanggup.
Aku pergi tanpa senyum yang sempat mengembang.
Aku meninggalkanmu melalui kata yang memecah.

Bunga di tepi awan… maafkan aku demi senyum yang tercipta.
Mungkin aku tak pandai menghadirkanmu senja dan pagi.
Selebihnya mungkin aku tak pandai menterjemahkan garis matamu.
Aku buta…!!! Atau apa yang sering kaukatakan itu…

Bunga ditepi awan…
Betapa berat aku memaknai setiap langkah ini.
Betapa berat aku melawan kebisuan ini.
Semua sudah engkau ukir, sudah kau bukukan diujung perjalanan ini.
Aku tau, engkau bukan sedang memilihkanku.
Tapi engkau telah membuatku memilih.
Memilih untuk memutuskan tentang arti penyesalan,
……………………dan kerinduan yang sejatinya telah terpasung.

Kini harus aku lalui kegelapan dan senyum malam.
Dan takkan mampu terterangi walau sribu cahaya.
Bahkan aku tak pernah tau untuk sekedar menitipkan air mata ini.

Aku mencintaimu, namun aku lebih takut aku tak pantas kau cintai.
Bukan saat ini,
Tapi saat nanti ketika kau mampu memikirkanya….


========= Agust ‘09

Kamis, 06 Agustus 2009

Potret pagi itu



Tertulis sebuah rindu di sudut pagi.
Bait demi bait mulai terselip dan melayang..
Di bait pertama, digaris harapan semu,
Bersandar pada angan kian lapuk..
Pagi itu…
Terekam dan tertata ulang. Begitu usang dan kusam..
Sekelebat bemembawa aromanya, lalu busuk.
Bunga setaman gugur ditengah meriah,
Mendung menawarkan muramnya,
Berbondong-bondong angin liar menatapnya,
Menerka, disela rantinng patah,
Menembus dalam lubuk pasrah,
Yang sejatinya takkan goyah..
Tak juga kau….
Kau yang telah menabur duka..
Dari separuh dan sekedar janjimu payah,
Bagai lahar panas dan luapan muntah.
Ya.. sekedar katamu…
Kulihat kau mengenakan topeng arjuna.
Berpesta pora diantara rayuan sinta.
Berdendang pada lagu dan nostalgia lama.
Hingga kutak sadar tertanam murka di sana.
Sementara kau dan aku terhanyut.
Sementara itu pula sang surya tersenyum.
Di ujung pagi semu, di sebelah ufuk timur.
Di antara senyumanya yang kini hilang.
Namun entahlah…
apa sebenarnya di balik senyumu itu..


Wong soslo, 17 des 2008.

Potret pagi itu

Tertulis sebuah rindu di sudut pagi.
Bait demi bait mulai terselip dan melayang..
Di bait pertama, digaris harapan semu,
Bersandar pada angan kian lapuk..
Pagi itu…
Terekam dan tertata ulang. Begitu usang dan kusam..
Sekelebat bemembawa aromanya, lalu busuk.
Bunga setaman gugur ditengah meriah,
Mendung menawarkan muramnya,
Berbondong-bondong angin liar menatapnya,
Menerka, disela rantinng patah,
Menembus dalam lubuk pasrah,
Yang sejatinya takkan goyah..
Tak juga kau….
Kau yang telah menabur duka..
Dari separuh dan sekedar janjimu payah,
Bagai lahar panas dan luapan muntah.
Ya.. sekedar katamu…
Kulihat kau mengenakan topeng arjuna.
Berpesta pora diantara rayuan sinta.
Berdendang pada lagu dan nostalgia lama.
Hingga kutak sadar tertanam murka di sana.
Sementara kau dan aku terhanyut.
Sementara itu pula sang surya tersenyum.
Di ujung pagi semu, di sebelah ufuk timur.
Di antara senyumanya yang kini hilang.
Namun entahlah…
apa sebenarnya di balik senyumu itu..


Wong soslo, 17 des 2008.

KERETA SENJA

Menjerit dibawah ratapan sunyi.
Diantara jerit-jerit lain, nampak kau saksikan wajah-wajah asing,
Yang tak pernah kulihat diujung sana.
Sosok tua, duduk termangu dilajur kiri sebelah kereta.
Seolah tak peduli bisingnya waktu, hingga saat terbelalak, sekembalinya sang cucu dari peluk.
Ya,, semua telah kau renggut bersama waktu yang sombong dan angkuh.
Tatapan kosongnya yang tak pasti, menerka jauh.
Sejauh masa lalunya yang kian rapuh.
Dimana tak mungkin kembali sejenak, bahkan untuk sekedar merayu.
Hari-hari membunuh dan menindas, terpuruk berserakan.
Mimpi yang sempat terukir, belum tersentuh.
Tawa bahak tak tersisisih, sekalipun adalah kepalsuan.
Seketika telah luluh lantak bersama deru liar, seliar waktu murka.
Kembali waktu memutar laju tak bertepi. Kereta senja atas saksi berita hari ini.
Kini telah lagi, sang waktu telah menggerutu dan merenggutnya.
Ketika mimipi belum sempat tertimang.
Ketika semua telah berlalu dan berakhir.

Di lajur kiri sebelah kereta.
Sosok mayat tua, dan kerumunan wajah-wajah asing, sang cucu menangis lunglai…

Kembali sang waktu melaju, bersama kereta senja itu…
Dan tak peduli …
Wong soslo, 17 desember 2008.

Minggu, 21 Juni 2009

di batas puing..

Diantara puing rindu,,
Dan diantara hembus cahayamu, aku rasakan seakan menembus jantung anima.
Aku sadar, aku terdiam.
Sejenak aku terpaku, menatap alunan cahayamu,,
kubiarkan seiring kau tertawa angkuh
rupanya belum sepenuhnya aku terlambat.
ya,,, setidaknya tentang tawamu itu..
lagi-lagi kau semakin angkuh, aku kalah. -…untuk kali ini”
kini kau leburkan pesonamu, selembut wajahmu yang mulai berubah.
Semakin aku tak mengerti, disaat kau bawa aku dalam persimpangan ini.
Disaat aku tau wangi tubuhmu, disaat itu pula kau memasungku..
Seraya ku bertanya, “..masihkah ada ruang tersisa?
Masihkah pagi bergelayut semi?
Oh,, sayang,, rupanya aku terhanyut dalam fatamorganamu..
Seiring kau terdiam bisu.
Dalam gersang padang, kau tunjukan oase semu.
Hening diantara riuh. Sepi, sunyi,
Tentang tawamu, senyumu,
Aku bosan, aku muak,

…….Hening.

------------------------------------------------- 14 Desember 2008
- Wong Solo-

Sabtu, 06 Juni 2009

lonceng kematian

Sore ini..
Ketika gemuruh bersambut gemercik hujan, Menyapaku dalam sepi.
Kadang hening. Rusuh…
Kala terjaga diantara angan dan penantian.
Kau..
Kau yang telah meninggalkan satu luka lara sanubari,
Dimana kata maaf tercampakan, ternoda oleh murka.
Begitu terhempas, membelai setiap sudut gundah, resah.
Membuai dalam hampa, menapaki lorong waktu yang kosong dan hina.
Sementara ruang dan waktu menggelepar,
berlari mengejar benci.
Diasatu sisi kehidupan yang berkelana penat,
Hingga benang merah tak sanggup mengikat pahit kehidupan.
Terhanyut dalam lembah kerapuhan,
Terkubur diantara harapan tercabik.

Sore ini,
Bersama detik-detik yang membunuh,
Kau bawa aku pada lonceng kematian.
Sore ini,
Bilakah waktu berhenti sejenak,
seiring penantian ini.
Dari penantianku yang tak pasti.

Wong solo,----------------------------------------------------- Gembong, 31 Desember 2008.

Diantara puing rindu,,

Dan diantara hembus cahayamu,

aku rasakan seakan menembus jantung anima

Aku sadar, aku terdiam।Sejenak aku terpaku, menatap alunan cahayamu,,

kubiarkan seiring kau tertawa angkuhrupanya belum sepenuhnya aku terlambat। ya,,, setidaknya tentang tawamu itu॥lagi-lagi kau semakin अंग्कुह , aku kalah। -…untuk kali ini”kini kau leburkan pesonamu, selembut wajahmu yang mulai berubah।Semakin aku tak mengerti, disaat kau bawa aku dalam persimpangan ini।Disaat aku tau wangi tubuhmu, disaat itu pula kau memasungku॥Seraya ku bertanya, “॥masihkah ada ruang tersisa?Masihkah pagi bergelayut semi?Oh,, sayang,, rupanya aku terhanyut dalam fatamorganamu॥Seiring kau terdiam bisu।Dalam gersang padang, kau tunjukan oase semu.Hening diantara riuh. Sepi, sunyi,Tentang tawamu, senyumu,Aku bosan, aku muak,…….Hening. ------------------------------------------------- 14 Desember 2008- Wong Solo-


Senin, 25 Mei 2009

Catatan sebatang rumput jalanan..

Sudut keping kehidupanya, dan diantara rimbun kelam perjalananya.
Mencoba menyisir, mengais waktu tersisa, yang mungkin terlihat samar

Mungkin mereka bosan, lelah, mendengar ocehan-ocehan konyol
Lelah menanti dan berpangku, menggerutu nasib.

Sementara.. disana..
Dipanggung kehidupan istana,
diantara gemerlap komoditi dan pesta
Tak jarang mereka berdalih dan bersandiwara
Berperan menjadi tokoh sang arjuna
Mereka itu.. mereka yang pernah berkata, -entah berdusta;
”..ini adalah sebuah kedaulatan...”
”..ini adalah sebuah demokrasi...”
”...ini adalah sebuah otonomi..”
Sementara mereka telah lupa, terhanyut, dalam wacana senja.
Seiring rumput jalanan mati tak berdaya, mengiring sebuah tanya..

Dan.. disana..
Dikehidupan jalanan marjinal kota,
Kehidupan-kehidupan bersarung mimpi,
Kehidupan-kehidupan yang hanya bersandar harap,
Kehidupan-kehidupan yang tak begitu dikenal,
Terdengar sayup tak berdaya,
Mereka sempat berkata pula;
” kelak aku akan titipkan sepucuk senyum pada anak-anaku...”
” dan kelak pula akan aku persembahkan pada Ibu Pandu... ”
Sekalipun harus merangkak di ujung penindasan dan persimpangan
Dan...sekalipun air mata telah habis di medan gersang..
Karena setetes darah dan kemenangan, adalah sebuah penghabisan..

Sekedar mengukir mimpi...

Wong Solo ’O9

Kamis, 07 Mei 2009

Bajingan-bajingan itu...

Diantara malaikat-malaikat penghuni surga
Diantara anjing-anjing serakah mengincar
Bersama pahlawan bertangan lima-berkuku
Bajingan itu,,, menjelma dengan senyum simpul lalu
Menggores wajah-wajah kian perih tak peduli

Dan rupanya geliat alampun menyambut bersahabat
Bersama sombongnya deru dunia
Bergelimang seribu rasa yang tak terlupa, mungkin tak terjamah
Seakan tak peduli malaikat serta

Sejenak si kecil tetap melangakah, pasti, tertatih, terhanyut mimpi
(dijalan sempat terpahat, terukir mimpi)

Sekedar ingin merayu kerinduan akan harap
Menyapu derap berkelana
Seiring mtanya tajam, menerka angin liar
Namun sayang, mata-mata mereka tak melihat
Atau bahkan sedikitpun tak mendengar
Atau buta...
Atau...
(walau memang dia tak butuh untuk itu)

Lalu mereka menipu tentang hatinya yang tak pasti
Gundah,
Bersama embun pagi sesaat
Bajingan-bajingan itu menyapa,
Tapi,
Entahlah..



Wong solo ’09

Persimpangan

Penat kehidupan membawaku dalam ketelanjangan dan kepalsuan
Antara arti dan makna cahayamu, yang sedianya telah tergaris, aku berlabuh
Kadang gusar, benci, tehanyut caci maki sombong
Aku sadar dalam ketakberdayaanku
Aku tertatih untuk meraih cahayamu

Kucoba melawan, namun bisu
seolah terpasung pada sandiwara yang tak pernah usai
lalu kau katakan
tentang arti penyesalan, mimpi, harapan, dan sejatinya perjalanan
lalu kau ungkit-ungkit masa lalu
hingga saat genang air mata, adalah saksi semua jawaban
sekiranya dari apa yang tidak seberapa ini tentu
karena di ujung perjalanan ini, di garis persimpangan,
kau tuliskan bait-bait keindahan

dan dikala semua harus berakhir, dan dengan air mata kebahagiaan
.......
Semoga...


Wong Solo.
11 Januari 2009

Kelabunya Ujung Desember 1998

Ujung Deseber 1998

Ujung desember kelabu
Kucium semerbak aroma wangi merayu

Terlihat sekilas riuh menari
Berkawan nostalgia sendu, seolah menyajikan kesunyian

Ujung desember kelabu
Bersama puing-puing yang kian mati
Mencoba melawan, sejenak menentang penghianat waktu

Seiring aku semakin rapuh
Seiring kua tak pernah peduli
Setidaknya tentang kejamnya hari ini

Kau begitu asik dengan angan-anganmu
Sungguhpun kau begitu tau benar
Betapa aku menantimu saat-saat ini bersamamu
Meniti, mengukir tentang harapan biru
Menyapa hari esok dalam rayu dan haru

Desember kelabu... di ujung savana itu...
Angin tetap mengalir, merunduk tenang...
Membelai lembut puing-puing kerinduan
Menyelimuti sebuah harapan dan kisah...

Desember kelabu, kumenantimu dalam harap
Kutatap hari ini bersama asa yang menggelayut
Dan kuselipkan satu harapkan dalam simfoni...


Wong Solo
31 Desember 2008

Rabu, 06 Mei 2009

Sebuah Perjalanan

Bagai darwis tersesat di ujung ilalang
Disebuah perjalanan kuseolah lelah
Kuberhenti di ujung masa lalu
Kuberteduh diantara cerita-cerita yang kau anggap tabu
Sejenak, kucoba khianati waktu

Ah,, bilakah aku akan berakhir begitu saja
Mungkin tak sejauh ini aku melangkah
Maka kubiarkan saja pedang menghunus,
Atau bumi menginjak-nginjaku. Lantas remuk dan hancur
Atau masa lalu yang seharusnya untuk itu?
Tapi, apapun pilihanku, dan mungkin juga pilihanMu, kumulai tak berdaya
Aku pasrah diantara dosa bersimbah

Dalam ketersimpanganku, kumerangkap melawan waktu tersisa
Demi oase biru yang kau janjikan
Dan disaat kau tunjukan faqir penggembala,
Kau bawa aku pada ruang waktu tersisa.
Sebuah lubuk yang tak pernah aku singgah
Atau barang sejenak untuk menghampiri

Hingga kusadar, mungkin kutelah menuju gerbang keabadian
Aku pasarah dalam sembah...
Menengadah...
Hanya Kau...



Wong Solo
16 Desember ’09

Untuk sebuah nama...

Disudut denting dan detik
Aku meramu dari setiap lekuk prasastimu
Tertoreh ukir, elok merangkai lukisan wajah
Wajah-wajah itu,,, yang tak pernah asing dari dambaku

Seiring kau hadir mencoba merajut angan
Mengisi bait-bait kerinduan dan perasaan
Meniru angin sore yang sejenak merayu malam

Sempat kau lukis warna-warni hari
Sempat pula kau suntingkan harum melati kuncup

Tapi,, entahlah.., banyak sudah yang telah terlewatkan
tanpa sempat terhitung hari

dan, tentang potret-potret itu, masih terbungkus dalam bingkai, lapuk sanubari
seiring kau bawa aku dalam lembah sunyi lubuk
yang terkadang temaram bisu, lapuk terpaku pada deru dan cumbu

kau hebat...
mungkin kehadiranmu, telah menterjemahkan akhir cerita dari seorang pecinta
kau telah luluhkan segala derap dan ratap
kau akhiri episode ini, bersama segala kehebatanmu.

Dan ketika waktu harus menjawab, atas segala keraguan
Kau coba menyapu derap merayu
Kautepis bayangan menerpa

Hingga ku sadar,
Bahhwa aku tak pantas untukmu
Dan mungkin kau bukan miliku....

Walau hati berbisik ;
Untuk kali ini, aku berharap salah menilai tentang diriku..
Dan selebihya, tentangmu...

Karena aku ingin kau tetap ada untukku...



Wong Solo ’09

Selasa, 05 Mei 2009

Ketika harus berakhir...

………………………….


Tak kan pernah habis…
Dari Sisa semua..
Derap yang kian tak kumengerti, kini hancur
Rapuh berantakan, seakan membawa murka
Lalu kau katakan padaku tentang keberakhiran
Kau ceritakan
Kau acuhkan segala lara,

Mungkin untuk kali ini, aku diam seraya aku berteriak
tapi entahlah, akankah kau dengar suara parau ini
sementara seribu malaikat menantiku dalam galau
biarlah,,, walau sumbang.
Tapi mungkin takkan mengusik.
Bukankah lara ini takkan habis

Sempat kupercaya padamu,
laiknya awan menebar senyum
Walaupun kulihat kali ini lelah,
atau mungkin bosan padaku...

Aku percaya tetap kau terjaga

.....Dan mungkin menjagaku
Atau barangkali seharusnya
Untuk itu..

......Karena sempat aku ”kehilangan..



Wong solo, 20 mart ’o9

Saat bintang bertanya tentangku

..................................
..dan bintangpun tersenyum, melambai dan menanyakan..
Tentang seribu sayap yang kau cipta.
Mungkin untuk apa.

hingga teratai menyambut gemuruh, tetap menyapa.
Menghina, memaki, seolah sesal bertualang.
...menyuruhku mencari jejak biru.

Kulihat mereka menari, menjemput arti sesaat.
Mencoba menerjemahkan abjat kehidupanya, yang mungkin keliru.
Sedang bintangpun mulai bosan menunggu.
...atau lelah.

Dan bisiku ; berharap hanya malam ini saja.
entah untuk malam berikut.
..kuharap tidak.

Sungguh, kadang kutak mampu dalami telagamu yang semakin bisu, jera atau mungkin layu.
Sementara arena ruang firdaus tetap membentang disetiap sisi sudut..
Sekedar menjemput harap

......................karena kini aku ingin menjawab bintang.
Setidaknya sekedar membuatnya malu.
Dan tentang Mereka-mereka yang menari, disaat bintang kini mulai diam berpaling.





Wong Solo
LAPAS, 12 april 2009

Catatan sebatang rumput jalanan..

Catatan sebatang rumput jalanan..


Sudut keping kehidupanya, dan diantara rimbun kelam perjalananya.
Mencoba menyisir, mengais waktu tersisa, yang mungkin terlihat samar

Mungkin mereka bosan, lelah, mendengar ocehan-ocehan konyol
Lelah menanti dan berpangku, menggerutu nasib.

Sementara.. disana..
Dipanggung kehidupan istana,
diantara gemerlap komoditi dan pesta
Tak jarang mereka berdalih dan bersandiwara
Berperan menjadi tokoh sang arjuna
Mereka itu.. mereka yang pernah berkata, -entah berdusta;
”..ini adalah sebuah kedaulatan...”
”..ini adalah sebuah demokrasi...”
”...ini adalah sebuah otonomi..”
Sementara mereka telah lupa, terhanyut, dalam wacana senja.
Seiring rumput jalanan mati tak berdaya, mengiring sebuah tanya..

Dan.. disana..
Dikehidupan jalanan marjinal kota,
Kehidupan-kehidupan bersarung mimpi,
Kehidupan-kehidupan yang hanya bersandar harap,
Kehidupan-kehidupan yang tak begitu dikenal,
Terdengar sayup tak berdaya,
Mereka sempat berkata pula;
” kelak aku akan titipkan sepucuk senyum pada anak-anaku...”
” dan kelak pula akan aku persembahkan pada Ibu Pandu... ”
Sekalipun harus merangkak di ujung penindasan dan persimpangan
Dan...sekalipun air mata telah habis di medan gersang..
Karena setetes darah dan kemenangan, adalah sebuah penghabisan..

Sekedar mengukir mimpi...

Senin, 04 Mei 2009

Tidak ada kehidupan yang "sempurna"...

...tidak satupun yang sempurna dalam dunia ini...
terlebih pada interaksi kehidupan seorang manusia. karena dalam segala seluk beluk kehidupan manusia pasti memiliki kecacatan dan kekurangan. seperti pribahasa bilang, "tiada gading yang tak retak", maka jika ada gading yang sedikitpun tak mengalami keretakan, atau halus tanpa cacat, itu berarti bukan gading. Dan mungkin bisa dikatakan gading tersebut bukanlah sebuah "gading sempurna".
Begitu pula dalam konteks kehidupan manusia, selalu diselimuti berbagai macam kekurangan, ketidaksempunaan, dan segala macam bentuk ketidakpuasan. Dimana, kemudian manusia ada menyebutnya sebuah problema kehidupan.
Jika kita bersedia sejenak merenung, sesungguhnya itulah sejatinya perjalanan kehidupan manusia. Itu sudah menjadi fitrah. Dan itu sebuah keniscayaan.
Kita tidak semestinya harus selalu berkutat pada ketidakpuasan hidup, karena memang manusia tidak akan pernah mengalami kepuasan. Terlebih dalam kehidupan dunia fana ini. Namun yang sepatutnya kita refleksikan lebih jauh adalah bagaimana kita menjalani kehidupan ini agar lebih bemanfaat dan memberikan kontribusi pada sesama. Hal tersebut bisa kita fokuskan bagaimana kita menjalani proses kehidupan ini kearah yang lebih baik.
Maka dalam hal ini kita tidak perlu membicarakan target, tapi proses. Karena sejatinya perjuangan dan perjalanan kehidupan manusia adalah bukan dari titik 90 ke 100, tapi dari titik nol besar ke titik 100-atau tak terhingga. banyak kita saksikan, manusia yang mengambil jalan pintas dalam kehidupanya, hingga akhirnya harus tersungkur kembali pada lembah keterpurukan. Dan bukan kualitas kehidupan yang mestinya tercapai.

Maka abdikanlah kehidupan ini pada sebuah "proses", bukan target. Karena itu akan mendekati sebuah "kesempurnaan". Dan bahkan bisa dikatakan, disitulah letak kesempurnaan manusia.

Wong Solo '09