Senin, 25 Mei 2009

Catatan sebatang rumput jalanan..

Sudut keping kehidupanya, dan diantara rimbun kelam perjalananya.
Mencoba menyisir, mengais waktu tersisa, yang mungkin terlihat samar

Mungkin mereka bosan, lelah, mendengar ocehan-ocehan konyol
Lelah menanti dan berpangku, menggerutu nasib.

Sementara.. disana..
Dipanggung kehidupan istana,
diantara gemerlap komoditi dan pesta
Tak jarang mereka berdalih dan bersandiwara
Berperan menjadi tokoh sang arjuna
Mereka itu.. mereka yang pernah berkata, -entah berdusta;
”..ini adalah sebuah kedaulatan...”
”..ini adalah sebuah demokrasi...”
”...ini adalah sebuah otonomi..”
Sementara mereka telah lupa, terhanyut, dalam wacana senja.
Seiring rumput jalanan mati tak berdaya, mengiring sebuah tanya..

Dan.. disana..
Dikehidupan jalanan marjinal kota,
Kehidupan-kehidupan bersarung mimpi,
Kehidupan-kehidupan yang hanya bersandar harap,
Kehidupan-kehidupan yang tak begitu dikenal,
Terdengar sayup tak berdaya,
Mereka sempat berkata pula;
” kelak aku akan titipkan sepucuk senyum pada anak-anaku...”
” dan kelak pula akan aku persembahkan pada Ibu Pandu... ”
Sekalipun harus merangkak di ujung penindasan dan persimpangan
Dan...sekalipun air mata telah habis di medan gersang..
Karena setetes darah dan kemenangan, adalah sebuah penghabisan..

Sekedar mengukir mimpi...

Wong Solo ’O9

Kamis, 07 Mei 2009

Bajingan-bajingan itu...

Diantara malaikat-malaikat penghuni surga
Diantara anjing-anjing serakah mengincar
Bersama pahlawan bertangan lima-berkuku
Bajingan itu,,, menjelma dengan senyum simpul lalu
Menggores wajah-wajah kian perih tak peduli

Dan rupanya geliat alampun menyambut bersahabat
Bersama sombongnya deru dunia
Bergelimang seribu rasa yang tak terlupa, mungkin tak terjamah
Seakan tak peduli malaikat serta

Sejenak si kecil tetap melangakah, pasti, tertatih, terhanyut mimpi
(dijalan sempat terpahat, terukir mimpi)

Sekedar ingin merayu kerinduan akan harap
Menyapu derap berkelana
Seiring mtanya tajam, menerka angin liar
Namun sayang, mata-mata mereka tak melihat
Atau bahkan sedikitpun tak mendengar
Atau buta...
Atau...
(walau memang dia tak butuh untuk itu)

Lalu mereka menipu tentang hatinya yang tak pasti
Gundah,
Bersama embun pagi sesaat
Bajingan-bajingan itu menyapa,
Tapi,
Entahlah..



Wong solo ’09

Persimpangan

Penat kehidupan membawaku dalam ketelanjangan dan kepalsuan
Antara arti dan makna cahayamu, yang sedianya telah tergaris, aku berlabuh
Kadang gusar, benci, tehanyut caci maki sombong
Aku sadar dalam ketakberdayaanku
Aku tertatih untuk meraih cahayamu

Kucoba melawan, namun bisu
seolah terpasung pada sandiwara yang tak pernah usai
lalu kau katakan
tentang arti penyesalan, mimpi, harapan, dan sejatinya perjalanan
lalu kau ungkit-ungkit masa lalu
hingga saat genang air mata, adalah saksi semua jawaban
sekiranya dari apa yang tidak seberapa ini tentu
karena di ujung perjalanan ini, di garis persimpangan,
kau tuliskan bait-bait keindahan

dan dikala semua harus berakhir, dan dengan air mata kebahagiaan
.......
Semoga...


Wong Solo.
11 Januari 2009

Kelabunya Ujung Desember 1998

Ujung Deseber 1998

Ujung desember kelabu
Kucium semerbak aroma wangi merayu

Terlihat sekilas riuh menari
Berkawan nostalgia sendu, seolah menyajikan kesunyian

Ujung desember kelabu
Bersama puing-puing yang kian mati
Mencoba melawan, sejenak menentang penghianat waktu

Seiring aku semakin rapuh
Seiring kua tak pernah peduli
Setidaknya tentang kejamnya hari ini

Kau begitu asik dengan angan-anganmu
Sungguhpun kau begitu tau benar
Betapa aku menantimu saat-saat ini bersamamu
Meniti, mengukir tentang harapan biru
Menyapa hari esok dalam rayu dan haru

Desember kelabu... di ujung savana itu...
Angin tetap mengalir, merunduk tenang...
Membelai lembut puing-puing kerinduan
Menyelimuti sebuah harapan dan kisah...

Desember kelabu, kumenantimu dalam harap
Kutatap hari ini bersama asa yang menggelayut
Dan kuselipkan satu harapkan dalam simfoni...


Wong Solo
31 Desember 2008

Rabu, 06 Mei 2009

Sebuah Perjalanan

Bagai darwis tersesat di ujung ilalang
Disebuah perjalanan kuseolah lelah
Kuberhenti di ujung masa lalu
Kuberteduh diantara cerita-cerita yang kau anggap tabu
Sejenak, kucoba khianati waktu

Ah,, bilakah aku akan berakhir begitu saja
Mungkin tak sejauh ini aku melangkah
Maka kubiarkan saja pedang menghunus,
Atau bumi menginjak-nginjaku. Lantas remuk dan hancur
Atau masa lalu yang seharusnya untuk itu?
Tapi, apapun pilihanku, dan mungkin juga pilihanMu, kumulai tak berdaya
Aku pasrah diantara dosa bersimbah

Dalam ketersimpanganku, kumerangkap melawan waktu tersisa
Demi oase biru yang kau janjikan
Dan disaat kau tunjukan faqir penggembala,
Kau bawa aku pada ruang waktu tersisa.
Sebuah lubuk yang tak pernah aku singgah
Atau barang sejenak untuk menghampiri

Hingga kusadar, mungkin kutelah menuju gerbang keabadian
Aku pasarah dalam sembah...
Menengadah...
Hanya Kau...



Wong Solo
16 Desember ’09

Untuk sebuah nama...

Disudut denting dan detik
Aku meramu dari setiap lekuk prasastimu
Tertoreh ukir, elok merangkai lukisan wajah
Wajah-wajah itu,,, yang tak pernah asing dari dambaku

Seiring kau hadir mencoba merajut angan
Mengisi bait-bait kerinduan dan perasaan
Meniru angin sore yang sejenak merayu malam

Sempat kau lukis warna-warni hari
Sempat pula kau suntingkan harum melati kuncup

Tapi,, entahlah.., banyak sudah yang telah terlewatkan
tanpa sempat terhitung hari

dan, tentang potret-potret itu, masih terbungkus dalam bingkai, lapuk sanubari
seiring kau bawa aku dalam lembah sunyi lubuk
yang terkadang temaram bisu, lapuk terpaku pada deru dan cumbu

kau hebat...
mungkin kehadiranmu, telah menterjemahkan akhir cerita dari seorang pecinta
kau telah luluhkan segala derap dan ratap
kau akhiri episode ini, bersama segala kehebatanmu.

Dan ketika waktu harus menjawab, atas segala keraguan
Kau coba menyapu derap merayu
Kautepis bayangan menerpa

Hingga ku sadar,
Bahhwa aku tak pantas untukmu
Dan mungkin kau bukan miliku....

Walau hati berbisik ;
Untuk kali ini, aku berharap salah menilai tentang diriku..
Dan selebihya, tentangmu...

Karena aku ingin kau tetap ada untukku...



Wong Solo ’09

Selasa, 05 Mei 2009

Ketika harus berakhir...

………………………….


Tak kan pernah habis…
Dari Sisa semua..
Derap yang kian tak kumengerti, kini hancur
Rapuh berantakan, seakan membawa murka
Lalu kau katakan padaku tentang keberakhiran
Kau ceritakan
Kau acuhkan segala lara,

Mungkin untuk kali ini, aku diam seraya aku berteriak
tapi entahlah, akankah kau dengar suara parau ini
sementara seribu malaikat menantiku dalam galau
biarlah,,, walau sumbang.
Tapi mungkin takkan mengusik.
Bukankah lara ini takkan habis

Sempat kupercaya padamu,
laiknya awan menebar senyum
Walaupun kulihat kali ini lelah,
atau mungkin bosan padaku...

Aku percaya tetap kau terjaga

.....Dan mungkin menjagaku
Atau barangkali seharusnya
Untuk itu..

......Karena sempat aku ”kehilangan..



Wong solo, 20 mart ’o9

Saat bintang bertanya tentangku

..................................
..dan bintangpun tersenyum, melambai dan menanyakan..
Tentang seribu sayap yang kau cipta.
Mungkin untuk apa.

hingga teratai menyambut gemuruh, tetap menyapa.
Menghina, memaki, seolah sesal bertualang.
...menyuruhku mencari jejak biru.

Kulihat mereka menari, menjemput arti sesaat.
Mencoba menerjemahkan abjat kehidupanya, yang mungkin keliru.
Sedang bintangpun mulai bosan menunggu.
...atau lelah.

Dan bisiku ; berharap hanya malam ini saja.
entah untuk malam berikut.
..kuharap tidak.

Sungguh, kadang kutak mampu dalami telagamu yang semakin bisu, jera atau mungkin layu.
Sementara arena ruang firdaus tetap membentang disetiap sisi sudut..
Sekedar menjemput harap

......................karena kini aku ingin menjawab bintang.
Setidaknya sekedar membuatnya malu.
Dan tentang Mereka-mereka yang menari, disaat bintang kini mulai diam berpaling.





Wong Solo
LAPAS, 12 april 2009

Catatan sebatang rumput jalanan..

Catatan sebatang rumput jalanan..


Sudut keping kehidupanya, dan diantara rimbun kelam perjalananya.
Mencoba menyisir, mengais waktu tersisa, yang mungkin terlihat samar

Mungkin mereka bosan, lelah, mendengar ocehan-ocehan konyol
Lelah menanti dan berpangku, menggerutu nasib.

Sementara.. disana..
Dipanggung kehidupan istana,
diantara gemerlap komoditi dan pesta
Tak jarang mereka berdalih dan bersandiwara
Berperan menjadi tokoh sang arjuna
Mereka itu.. mereka yang pernah berkata, -entah berdusta;
”..ini adalah sebuah kedaulatan...”
”..ini adalah sebuah demokrasi...”
”...ini adalah sebuah otonomi..”
Sementara mereka telah lupa, terhanyut, dalam wacana senja.
Seiring rumput jalanan mati tak berdaya, mengiring sebuah tanya..

Dan.. disana..
Dikehidupan jalanan marjinal kota,
Kehidupan-kehidupan bersarung mimpi,
Kehidupan-kehidupan yang hanya bersandar harap,
Kehidupan-kehidupan yang tak begitu dikenal,
Terdengar sayup tak berdaya,
Mereka sempat berkata pula;
” kelak aku akan titipkan sepucuk senyum pada anak-anaku...”
” dan kelak pula akan aku persembahkan pada Ibu Pandu... ”
Sekalipun harus merangkak di ujung penindasan dan persimpangan
Dan...sekalipun air mata telah habis di medan gersang..
Karena setetes darah dan kemenangan, adalah sebuah penghabisan..

Sekedar mengukir mimpi...

Senin, 04 Mei 2009

Tidak ada kehidupan yang "sempurna"...

...tidak satupun yang sempurna dalam dunia ini...
terlebih pada interaksi kehidupan seorang manusia. karena dalam segala seluk beluk kehidupan manusia pasti memiliki kecacatan dan kekurangan. seperti pribahasa bilang, "tiada gading yang tak retak", maka jika ada gading yang sedikitpun tak mengalami keretakan, atau halus tanpa cacat, itu berarti bukan gading. Dan mungkin bisa dikatakan gading tersebut bukanlah sebuah "gading sempurna".
Begitu pula dalam konteks kehidupan manusia, selalu diselimuti berbagai macam kekurangan, ketidaksempunaan, dan segala macam bentuk ketidakpuasan. Dimana, kemudian manusia ada menyebutnya sebuah problema kehidupan.
Jika kita bersedia sejenak merenung, sesungguhnya itulah sejatinya perjalanan kehidupan manusia. Itu sudah menjadi fitrah. Dan itu sebuah keniscayaan.
Kita tidak semestinya harus selalu berkutat pada ketidakpuasan hidup, karena memang manusia tidak akan pernah mengalami kepuasan. Terlebih dalam kehidupan dunia fana ini. Namun yang sepatutnya kita refleksikan lebih jauh adalah bagaimana kita menjalani kehidupan ini agar lebih bemanfaat dan memberikan kontribusi pada sesama. Hal tersebut bisa kita fokuskan bagaimana kita menjalani proses kehidupan ini kearah yang lebih baik.
Maka dalam hal ini kita tidak perlu membicarakan target, tapi proses. Karena sejatinya perjuangan dan perjalanan kehidupan manusia adalah bukan dari titik 90 ke 100, tapi dari titik nol besar ke titik 100-atau tak terhingga. banyak kita saksikan, manusia yang mengambil jalan pintas dalam kehidupanya, hingga akhirnya harus tersungkur kembali pada lembah keterpurukan. Dan bukan kualitas kehidupan yang mestinya tercapai.

Maka abdikanlah kehidupan ini pada sebuah "proses", bukan target. Karena itu akan mendekati sebuah "kesempurnaan". Dan bahkan bisa dikatakan, disitulah letak kesempurnaan manusia.

Wong Solo '09